Etika dan Kerangka Hukum Bidang Teknologi Informasi
Dampak Pemanfaatan Teknologi Informasi
Didalam organisasi modern, dan dalam bahasan ekonomis secara luas, informasi telah menjadi komoditas yang sangat berharga, dan telah berubah dan dianggap sebagai sumber daya habis pakai, bukannya barang bebas.
Dalam suatu organisasi perlu dipertimbangkan bahwa informasi memiliki karakter yang multivalue, dan multidimensi.
Dari sisi pandangan teori sistem, informasi memungkinkan kebebasan beraksi, mengendalikan pengeluaran, mengefisiensikan pengalokasian sumber daya dan waktu. Sirkulasi informasi yang terbuka dan bebas merupakan kondisi yang optimal untuk pemanfaatan informasi.
Selain dampak positif dari kehadiran teknologi informasi pada berbagai bidang kehidupan, pemakaian teknologi informasi bisa mengakibatkan atau menimbulkan dampak negatif bagi pengguna atau pelaku bidang teknologi informasi itu sendiri, maupun bagi masyarakat luas yang secara tidak langsung berhubungan dengan teknologi informasi tersebut.
I Made Wiryana pakar teknologi informasi Indonesia, berpendapat bahwa potensi-potensi kerugian yang disebabkan pemanfaatan teknologi informasi yang kurang tepat menumbulkan dampak-dampak sebagai berikut :
Rasa ketakutan.
Keterasingan.
Golongan miskin informasi dan minoritas.
Pentingnya individu
Tingkat kompleksitas serta kecepatan yang sudah tak dapat ditangani
Makin rentannya organisasi
Dilanggarnya privasi.
Pengangguran dan pemindahan kerja
Kurangnya tanggung jawab profesi.
Kaburnya citra manusia.
Informasi jelas dapat disalah-gunakan. Polusi informasi, yaitu propagasi informasi yang salah, dan pemanfaatan informasi (baik benar atau salah) untuk mengendalikan hidup manusia tanpa atau dengan disadari merupakan suatu akibat dari penyalah-gunaan ini.
Begitu juga informasi yang tidak lengkap bisa menimbulkan salah persepsi terhadap yang menerima atau membacanya. Misinformasi akan terakumulasi dan menyebabkan permasalahan pada masyarakat. beberapa langkah strategis yang dapat diimplementasikan untuk mengurangi dampak buruk tersebut, antara lain :
Disain yang berpusat pada manusia.
Dukungan organisasi.
Perencanaan pekerjaan (job).
Pendidikan.
Umpan balik dan imbalan.
Meningkatkan kesadaran publik
Perangkat hukum.
Riset yang maju.
Etika Penggunaan Teknologi Informasi
Etika secara umum didefinisikan sebagai suatu kepercayaan yang mengisi suatu individu, yang keberadaanya bisa dipertanggung jawabkan terhadap masyarakat atas perilaku yang diperbuat. Biasanya pengertian etika akan berkaitan dengan masalah moral.
Moral adalah tradisi kepercayaan mengenai perilaku benar dan salah yang diakui oleh manusia secara universal. Perbedaanya bahwa etika akan menjadi berbeda dari masyarakat satu dengan masyarakat yang lain.
Sebuah survei menyebutkan bahwa penggunaan software bajakan yang berkembang di Asia saat ini bisa mencapai lebih dari 90 %, sedangkan di Amerika kurang dari 35 %. Ini bisa dikatakan bahwa masyarakat pengguna software di Asia kurang etis di banding di Amerika. Contoh lain misalnya kita melihat data orang lain atau perusahaan lain yang menjadi rahasinya, berarti kita bertindak kurang etis.
Pentingnya Etika Komputer
Menurut James moor, terdapat tiga alasan utama minat masyarakat yang tinggi pada etika komputer, yaitu :
Kelenturan Logika.
Faktor Transformasi.
Faktor tak kasat mata.
Hak-Hak atas Informasi/ Komputer
Hak Sosial dan Komputer
Menurut Deborah Johnson, Profesor dari Rensselaer Polytechnic Institute mengemukakan bahwa masyarakat memiliki :
Hak atas akses komputer
Hak atas keahlian komputer
Hak atas spesialis komputer
Hak atas pengambilan keputusan komputer.
Hak Atas Informasi
Menurut Richard O. Masson, seorang profesor di Southern Methodist University, telah mengklasifikasikan hak atas informasi berupa :
Hak atas privasi
Hak atas akurasi
Hak atas kepemilikan.
Hak atas akses
Kontrak Sosial Jasa Informasi
Untuk memecahkan permasalahan etika komputer, jasa informasi harus masuk ke dalam kontrak sosial yang memastikan bahwa komputer akan digunakan untuk kebaikan sosial. Jasa informasi membuat kontrak tersebut dengan individu dan kelompok yang menggunakan atau yang dipengaruhi oleh output informasinya. Kontrak tersebut tidak tertulis tetapi tersirat dalam segala sesuatu yang dilakukan jasa informasi.
Kontrak tersebut menyatakan bahwa :
Komputer tidak akan digunakan dengan sengaja untuk menggangu privasi orang
Setiap ukuran akan dibuat untuk memastikan akurasi pemrosesan data
Hak milik intelektual akan dilindungi
Etika IT di Perusahaan
Sangat penting penerapan etika dalam penggunaan teknologi informasi (information technology/IT) di perusahaan. Etika tersebut akan mengantarkan keberhasilan perusahaan dalam proses pengambilan keputusan manajemen. Kegagalan pada penyajian informasi akan berakibat resiko kegagalan pada perusahaan. Penerapan etika teknologi informasi dalam perusahaan harus dimulai dari dukungan pihak top manajemen terutama pada Chief Information Officer (CIO).
Kekuatan yang dimiliki CIO dalam menerapkan etika IT pada perusahaannya sangat dipengaruhi akan kesadaran hukum, budaya etika, dan kode etik profesional oleh CIO itu sendiri.
Tindakan untuk mencapai operasi komputer yang etis dalam sebuah perusahaan menurut Donn Parker SRI International, menyarankan agar CIO mengikuti rencana sepuluh langkah dalam mengelompokkan perilaku dan menekankan standart etika berupa:
Formulasikan suatu kode perilaku.
Tetapkan aturan prosedur yang berkaitan dengan masalah-maslah seperti penggunaan jasa komputer untuk pribadi dan hak milik atas program dan data komputer.
Jelaskan sanksi yang akan diambil terhadap pelanggar, seperti teguuran, penghentian, dan tuntutan.
Kenali perilaku etis.
Fokuskan perhatian pada etika secara terprogram seperti pelatihan dan bacaan yang disyaratkan.
Promosikan undang-undang kejahatan komputer pada karyawan. Simpan suatu catatan formal yang menetapkan pertanggungjawaban tiap spesialis informasi untuk semua tindakan, dan kurangi godaan untuk melanggar dengan program-program seperti audit etika.
Mendorong penggunaan program-program rehabilitasi yang memperlakukan pelanggar etika dengan cara yang sama seperti perusahaan mempedulikan pemulihan bagi alkoholik atau penyalahgunaan obat bius.
Dorong partisipasi dalam perkumpulan profesional.
Kriminalitas di Internet (Cybercrime)
Kriminalitas siber (Cybercrime) atau kriminalitas di internet adalah tindak pidana kriminal yang dilakukan pada teknologi internet (cyberspace), baik yang menyerang fasilitas umum di dalam cyberspace atupun kepemilikan pribadi. Secara teknis tindak pidana tersebut dapat dibedakan menjadi off-line crime, semi on-line crime, dan cybercrime. Masing-masing memiliki karakteristik tersendiri, namun perbedaan utama diantara ketiganya adalah keterhubungan dengan jaringan informasi publik (baca: internet). Cybercrime merupakan perkembangan lebih lanjut dari kejahatan atau tindak pidana yang dilakukan dengan memanfaatkan teknologi komputer.
Fenomena cybercrime memang harus diwaspadai karena kejahatan ini agak berbeda dengan kejahatan lain pada umumnya Cybercrime dapat dilakukan tanpa mengenal batas teritorial dan tidak diperlukan interaksi langsung antara pelaku dengan korban kejahatan.
Kejahatan yang terjadi di internet terdiri dari berbagai macam jenis dan cara yang bisa terjadi. Bentuk atau model kejahatan teknologi informasi (baca pada bab sebelumnya)
Menurut motifnya kejahatan di internet dibagi menjadi dua motif yaitu :
Motif Intelektual. Yaitu kejahatan yang dilakukan hanya untuk kepuasan diri pribadi dan menunjukkan bahwa dirinya telah mampu untuk merekayasi dan mengimplementasikan bidang teknologi informasi.
Motif ekonomi, politik, dan kriminal. Yaitu kejahatan yang dilakukan untuk keuntungan pribadi atau golongan tertentu yang berdampak pada kerugian secara ekonomi dan politik pada pihak lain.
Kejahatan komputer juga dapat ditinjau dalam ruang lingkup sebagai berikut:
Pertama, komputer sebagai instrumen untuk melakukan kejahatan tradisional,
Kedua, komputer dan perangkatnya sebagai objek penyalahgunaan, dimana data-data didalam komputer yang menjadi objek kejahatan dapat saja diubah, dimodifikasi, dihapus atau diduplikasi secara tidak sah.
Ketiga, Penyalahgunaan yang berkaitan dengan komputer atau data,
Keempat, adalah unauthorized acquisition, disclosure or use of information and data, yang berkaitan dengan masalah penyalahgunaan hak akses dengan cara-cara yang ilegal.
Menurut Bainbridge (1993) dalam bukunya Komputer dan Hukum membagi beberapa macam kejahatan dengan menggunakan sarana komputer :
Memasukkan instruksi yang tidak sah,
Perubahan data input,
Perusakan data, hal ini terjadi terutama pada data output,
Komputer sebagai pembantu kejahatan,
Akses tidak sah terhadap sistem komputer atau yang dikenal dengan hacking.
Bernstein (1996) menambahkan ada beberapa keadaan di Internet yang dapat terjadi sehubungan lemahnya sistem keamanan antara lain:
Password seseorang dicuri ketika terhubung ke sistem jaringan dan ditiru atau digunakan oleh si pencuri.
Jalur komunikasi disadap dan rahasia perusahaan pun dicuri melalui jaringan komputer.
Sistem Informasi dimasuki (penetrated) oleh pengacau (intruder).
Server jaringan dikirim data dalam ukuran sangat besar (e-mail bomb) sehingga sistem macet.
Selain itu ada tindakan menyangkut masalah kemanan berhubungan dengan lingkungan hukum:
Kekayaan Intelektual (intellectual property) dibajak.
Hak cipta dan paten dilanggar dengan melakukan peniruan dan atau tidak membayar royalti.
Terjadi pelanggaran terhadap ketentuan penggunaan teknologi tertentu.
Dokumen rahasia disiarkan melalui mailing list atau bulletin boards.
Pegawai menggunakan Internet untuk tindakan a-susila seperti pornografi.
Sedangkan menurut Philip Renata ditinjau dari tipenya cybercrime dapat dibedakan menjadi :
a. Joy computing,
b. Hacking,
c. The Trojan Horse,
d. Data Leakage,
e. Data Diddling,
f. To frustate data communication atau penyia-nyiaan data komputer.
g. Software piracy yaitu pembajakan perangkat lunak terhadap hak cipta yang dilindungi HAKI (Hak Atas Kekayaan dan Intelektual).
Kerangka Hukum Bidang Teknologi Infirmasi
Dampak negatif yang serius karena berkembangnya teknologi informasi terutama teknologi internet harus segera ditangani dan ditanggulangi dengan segala perangkat yang mungkin termasuk perangkat perundangan yang bisa mengendalikan kejahatan dibidang teknologi informasi. Sudah saatnya bahwa hukum yang ada harus bisa mengatasi penyimpangan penggunaan perangkat teknologi informasi sebagai alat bantunya, terutama kejahatan di internet (cybercrime) dengan menerapkan hukum siber (cyberlaw).
Pendapat tentang Cyberlow
Munculnya kejahatan diinternet pada awalnya banyak terjadi pro-kontra terhadap penerapan hukum yang harus dilakukan. Hal ini direnakan saat itu sulit untuk menjerat secara hukum para pelakunya karena beberapa alasan. Alasan yang menjadi kendala seperti sifat kejahatannya bersifat maya, lintas negara, dan sulitnya menemukan pembuktian.
Hukum yang ada saat itu yaitu hukum tradisional banyak memunculkan pro-kontra, karena harus menjawab pertanyaan bisa atau tidaknya sistem hukum tradisional mengatur mengenai aktivitas-aktivitas yang dilakukan di Internet. Karena aktifitas di internet memiliki karakteristik;
Pertama, karakteristik aktivitas di Internet yang bersifat lintas-batas, sehingga tidak lagi tunduk pada batasan-batasan teritorial.
Kedua, sistem hukum traditional (the existing law) yang justru bertumpu pada batasan-batasan teritorial dianggap tidak cukup memadai untuk menjawab persoalan-persoalan hukum yang muncul akibat aktivitas di Internet.
Kemunculan Pro-kontra mengenai masalah diatas ini sedikitnya terbagai menjadi tiga kelompok, yaitu :
Kelompok pertama secara total menolak setiap usaha untuk membuat aturan hukum bagi aktivitas-aktivitas di Internet yang didasarkan atas sistem hukum tradisional/konvensional.
Kelompok kedua berpendapat sebaliknya, bahwa penerapan sistem hukum tradisional untuk mengatur aktivitas-aktivitas di Internet sangat mendesak untuk dilakukan.
Kelompok ketiga tampaknya merupakan sintesis dari kedua kelompok di atas. Mereka berpendapat bahwa aturan hukum yang akan mengatur mengenai aktivitas di Internet harus dibentuk secara evolutif dengan cara menerapkan prinsip-prinsip common law yang dilakukan secara hati-hati dan dengan menitik beratkan kepada aspek-aspek tertentu dalam aktivitas cyberspace yang menyebabkan kekhasan dalam transaksi- transaksi di Internet.
Pada hakekatnya, semua orang akan sepakat (kesepakatan universal) bahwa segala bentuk kejahatan harus dikenai sanksi hukum, menurut kadar atau jenis kejahatannya. Begitu juga kejahatan Teknologi Informasi apapun bentuknya tergolong tindakan kejahatan yang harus dihukum, pertanyaan yang sering diajukan adalah apakah perundangan di Indonesia sudah mengatur masalah tersebut?.
Mas Wigrantoro dalam naskah akademik tentang RUU bidang Teknologi Informasi menyebutkan, terdapat dua kelompok pendapat dalam menjawab pertanyaan ini, yaitu :
Kelompok pertama berpendapat bahwa hingga saat ini belum ada perundangan yang mengatur masalah kriminalitas penggunaan Teknologi Informasi (cybercrime), dan oleh karenanya jika terjadi tindakan kriminal di dunia cyber sulit bagi aparat penegak hukum untuk menghukum pelakunya.
Kelompok kedua beranggapan bahwa tidak ada kekosongan hukum, oleh karenanya meski belum ada undang – undang yang secara khusus mengatur masalah cybercrime, namun demikian para penegak hukum dapat menggunakan ketentuan hukum yang sudah ada.
Pendapat dua kelompok di atas mendorong diajukannya tiga alternatif pendekatan dalam penyediaan perundang-udangan yang mengatur masalah kriminalitas Teknologi Informasi, yaitu :
Alternatif pertama adalah dibuat suatu Undang – Undang khusus yang mengatur masalah Tindak Pidana di Bidang Teknologi Informasi.
Alternatif kedua, memasukkan materi kejahatan Teknologi Informasi ke dalam amandemen KUHP yang saat ini sedang digodok oleh Tim Departemen Kehakiman dan HAM.
Alternatif ketiga, melakukan amandemen terhadap semua undang – undang yang diperkirakan akan berhubungan dengan pemanfaatan Teknologi Informasi.
Prinsip dan Pendekatan Hukum
Dengan adanya kejahatan-kejahatan dan kendala-kendala hukum bidang teknologi informasi seperti yang dibahas pada sub bab sebelumnya saat ini telah lahir suatu rezim hukum baru yang dikenal dengan Hukum Siber. Istilah hukum siber diartikan sebagai padanan kata dari Cyber Law, yang saat ini secara internasional digunakan untuk istilah hukum yang terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi. Istilah lain yang juga digunakan adalah hukum Teknologi Informasi (Law of Information Technology) Hukum Dunia Maya (Virtual World Law) dan Hukum Mayantara. Istilah-istilah tersebut lahir mengingat kegiatan internet dan pemanfaatan teknologi informasi berbasis virtual.
Dalam ruang siber pelaku pelanggaran seringkali menjadi sulit dijerat karena hukum dan pengadilan Indonesia belum memiliki yurisdiksi terhadap pelaku dan perbuatan hukum yang terjadi, mengingat pelanggaran hukum bersifat transnasional tetapi akibatnya justru memiliki implikasi hukum di Indonesia.
Dalam hukum internasional, dikenal tiga jenis jurisdiksi, yaitu :
jurisdiksi untuk menetapkan undang-undang (the jurisdiction to prescribe),
jurisdiksi untuk penegakan hukum (the jurisdiction to enforce), dan
jurisdiksi untuk menuntut (the jurisdiction to adjudicate).
Dalam kaitannya dengan penentuan hukum yang berlaku dikenal beberapa asas yang biasa digunakan, yaitu :
Pertama, subjective territoriality,
Kedua, objective territoriality,
Ketiga, nationality
Keempat, passive nationality
Kelima, protective principle,
keenam, asas Universality.
Asas Universality selayaknya memperoleh perhatian khusus terkait dengan penanganan hukum kasus-kasus siber. Asas ini disebut juga sebagai “universal interest jurisdiction”.
Berdasarkan karakteristik khusus yang terdapat dalam ruang siber maka dapat dikemukakan beberapa teori sebagai berikut :
Pertama The Theory of the Uploader and the Downloadr Berdasarkan teori ini, suatu negara dapat melarang dalam wilayahnya, kegiatan uploading dan downloading yang diperkirakan dapat bertentangan dengan kepentingannya.
Kedua adalah teori The Law of the Server. Pendekatan ini memperlakukan server di mana webpages secara fisik berlokasi, yaitu di mana mereka dicatat sebagai data elektronik.
Ketiga The Theory of International Spaces. Ruang siber dianggap sebagai the fourth space.
Instrumen Internasional di Bidang Cybercrime
Uni Eropa
Instrumen Hukum Internasional publik yang mengatur masalah Kejahatan siber yang saat ini paling mendapat perhatian adalah Konvensi tentang Kejahatan siber (Convention on Cyber Crime) 2001 yang digagas oleh Uni Eropa. Konvensi ini meskipun pada awalnya dibuat oleh organisasi Regional Eropa, tetapi dalam perkembangannya dimungkinkan untuk diratifikasi dan diaksesi oleh negara manapun didunia yang memiliki komitmen dalam upaya mengatasi kejahatan Siber.
Substansi konvensi mencakup area yang cukup luas, bahkan mengandung kebijakan kriminal (criminal policy) yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dari cyber crime, baik melalui undang-undang maupun kerjasama internasional.
PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa)
Sidang Umum PBB pada tanggal 4 Desember 2000 menanda – tangani Resolusi 55/63 yang berisi tentang memerangi tindakan kriminal penyalah- gunaan Teknologi Informasi. Butir – butir Resolusi yang selanjutnya menandai dimulainya perhatian dunia terhadap masalah kejahatan Teknologi Informasi.
Asia Pacific Economy Cooperation (APEC )
Menindak-lanjuti Resolusi PBB 55/63 tersebut di atas para pemimpin ekonomi yang tergabung dalam organisasi Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) sepakat membentuk APEC Cybercrime Strategy yang bertujuan mengupayakan secara bersama keamanan Internet (cybersecurity) dan mencegah serta menghukum pelaku cybercrime. Selanjutnya diminta kepada para pemimpin anggota APEC agar membentuk unit – unit pengamanan yang bertugas memerangi kejahatan cybercrime, serta menunjuk personalia yang bertugas sebagai point of contact dalam kerja sama internasional memerangi cybercrime.
Ruang Lingkup Cyber Law
Prespektif Cyber Law dalam Hukum Indonesia
Dilihat dari kejadian-kejadian kriminalitas internet dan begitu berkembangnya pemakaian atau pemanfaaatan di Indonesia maupun di dunia Internasional, sudah saatnya pemerintah Indonesia menerapkan cyber law sebagai prioritas utama.
Urgensi cyber law bagi Indonesia terletak pada keharusan Indonesia untuk mengarahkan transaksi-transaksi lewat Internet saat ini agar sesuai dengan standar etik dan hukum yang disepakati dan keharusan untuk meletakkan dasar legal dan kultural bagi masyarakat Indonesia untuk masuk dan menjadi pelaku dalam masyarakat informasi.
Pemerintah Indonesia baru saja mengatur masalah HaKI (Hak atas Kekayaan Intelektual), No 19 tahun 2002. Namun undang-undang tersebut berfokus pada persoalan perlindungan kekayaan intelektual saja. Ini terkait dengan persoalan tingginya kasus pembajakan piranti lunak di negeri ini. Kehadiran UU tersebut tentu tidak lepas dari desakan negara-negara produsen piranti lunak itu berasal. Begitu juga dengan dikeluarkannya UU hak patent yang diatur dalam UU no 14 tahun 2001, yang mengatur hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada Inventor atas hasil Invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri Invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya.
Terlepas dari masalah itu, sebenarnya kehadiran cyberlaw yang langsung memfasilitasi eCommerce, eGovernment dan cybercrime sudah sangat diperlukan.
Perundangan Pemanfaatan Teknologi Informasi di Indonesia
Dalam RUU pemanfaatan teknologi informasi di Indonesia telah dibahas berbagai aturan pemanfaatan teknologi informasi atau internet di berbagai sektor atau bidang. Aturan ini dibuat karena kemunculan sejumlah kasus yang cukup fenomenal di dunia internet yang telah mendorong dan mengukuhkan internet sebagai salah satu institusi dalam arus utama (mainstream) budaya dunia saat ini.
Munculnya perundangan pemanfaatan teknologi informasi kerena didorong peritmbangan-pertimbangan seperti; pertumbuhan teknologi informasi yang merupakan bagian dari kehidupan masyarakat; globalisasi informasi telah menempatkan Indonesia sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia sehingga mengharuskan dibentuknya pengaturan pemanfaatan teknologi informasi di tingkat nasional sebagai jawaban atas perkembangan yang terjadi baik di tingkat regional maupun internasional
Pengaturan pemanfaatan teknologi informasi harus dilaksanakan dengan tujuan untuk :
mendukung persatuan dan kesatuan bangsa serta mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia;
mendukung perkembangan perdagangan dan perekonomian nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi nasional;
mendukung efektivitas komunikasi dengan memanfaatkan secara optimal teknologi informasi untuk tercapainya keadilan dan kepastian hukum;
memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada setiap orang untuk mengembangkan pemikiran dan kemampuannya di bidang teknologi informasi secara bertanggung jawab dalam rangka menghadapi perkembangan teknologi informasi dunia.
Dalam RUU pemanfaatan teknologi kegiatan yang diatur meliputi :
Perdagangan elektronik (e-commerce)
Perbankan elektronik (e-banking)
Pemerintahan elektronik (e-government)
Pelayanan kesehatan elektronik (e-hospital)
Pemberian nama domain (Domain Name Services/DNS)
Selain itu aturan-aturan lain yang berhubungan dengan hal diatas seperti hak kekayaan intelektual, hak atas kerahasiaan informasi, perlindungan hak-hak pribadi, perpajakan, penyelesaian sengketa, yuridiksi, penyidikan, dan tindak pidana diatur dalam perundangan lain seperti adanya hak paten, HAKI, dan RUU- TIPITI (Tindak Pidana Teknologi Informasi).
Implementasi Hukum Teknologi Informasi di Indonesia
Undang – Undang Tindak Pidana di Bidang Teknologi Informasi (UU-TIPITI) dibuat dengan tujuan untuk mendukung ketertiban pemanfaatan Teknologi Informasi yang digunakan oleh orang berkewarga-negaraan Indonesia, dan atau badan hukum yang berkedudukan di Indonesia, orang asing, atau badan hukum asing yang melakukan kegiatan atau transaksi dengan orang, atau badan hukum yang lahir dan berkedudukan di Indonesia, dengan tetap menjunjung tinggi hukum Indonesia dan hak asasi manusia, tidak diskriminatif baik berdasarkan suku, agama, ras maupun antar golongan.
Pembuktian Cybercrime
Alat bukti yang bisa digunakan dalam penyidikan selain alat bukti yang sudah diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana, catatan elektronik yang tersimpan dalam sistem komputer merupakan alat bukti yang sah. Catatan elektronik tersebut yang akan dijadikan alat bukti sah di pengadilan wajib dikumpulkan oleh penyidik dengan mengikuti prosedur sesuai ketentuan yang berlaku. Selain catatan elektronik, maka dapat digunakan sebagai alat bukti meliputi :
Informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima atau disimpan secara elektronik atau yang serupa dengan itu.
Data, rekaman atau informasi yang dapat dilihat, dibaca dan atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada :
Tulisan, suara atau gambar;
Peta, rancangan, foto atau sejenisnya;
Huruf, tanda, angka, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya;
Alat bukti elektronik, khususnya yang berwujud perangkat lunak diperoleh dengan cara penggandaan dari lokasi asalnya dengan cara tertentu tanpa merusak struktur logika program.
Dampak Lingkungan
Masalah Lingkungan yang muncul karena TI :
Manufaktur dan penggunaan produk
Pembuangan produk sampingan
Environmental blight
Masalah mental yang muncul karena TI antara lainnya adalah isolasi sosial, perjudian, dan tekanan (stress)
Dampak Perlindungan Anak
Masalah perlindungan anak yang muncul karena TI :
Pornografi
Pelecehan Online
Cyberbullying
Dampak Pada Tempat Kerja
Penyalahgunaan teknologi
Meributkan diri dengan komputer
Informasi yang berlebihan
Comments
Post a Comment